#Prosa, "Singkawang, Oktober dan Rinduku"


"Singkawang, Oktober dan Rinduku"
Langkah kakiku mengentak, menggerus tanah, menerbangkan debu yang tak berdaya di terpa angin sore ini. Di antara wewangian bakaran dupa, lilin merah yang perlahan meleleh di babat kobaran api kecil dari sumbu. Aku terbawa arus rindu.
Ingatkah?
Di balik bangunan tua peninggalan Belanda, kita saling menggenggam erat jemari.
Masih ingatkah?
Pada kenangan tiga belas tahun silam. Kita bersama mengayuh sepeda berwarna merah muda. Keranjang depan sepeda, telah penuh terisi camilan. Bubur tahu dan bubur gunting, mulai menguarkan nikmat yang menggedor cacing perut untuk berdemo di balik kantong keresek hitam di keranjang sepeda. Sebungkus es teh yang kusangkutkan di stang sepeda mulai mencair.
Kau tertawa di belakang sambil menyemangatiku untuk mengayuh lebih kencang lagi. Mentari ikut bersemangat menyorot kita. Membawa angin pagi dari lambaian beringin tua yang menyejukkan. Kala peluh memburu, berbondong-bondong meluruh di balik kaos hitam yang kukenakan. Kau memekik senang.
Terdengar dentang bel gereja, kau menoleh ke belakang. Melambai pada patung Maria yang tersenyum. Kembali, kau menyuarakan semangat untuk mengayuh pedal sepeda. Deretan lampion terhampar di atas kepala, kala kumenengadah ke arah awan yang mengarak mentari.
Ini kotaku, tempat kita mengukir sejarah, kenangan kecil yang tertanam luas di setiap jengkal ingatanku. Kota Singkawang, Kota Amoi, Kota Seribu Kelenteng, Kota Hongkongnya Borneo. Dan kau selalu bangga memamerkan tawa cerah dengan memperlihatkan gelang jalinan kulit kayu yang berpola rumit khas kota kelahiran kita.
Ruko-ruko lama yang berjejer rapi, gerobak bakpao yang terparkir di tepian jalan di Ponegoro, dan Pak tua yang mulai bersemangat menawarkan dagangan. Aku masih mengayuh pedal, bersama rangkulan lenganmu. Kau bersandar di punggung kurusku, mulai melantunkan lagu bernada rendah dengan kekehan kecil kala lirik dan nada sumbang mulai terdengar.
Aku hanya mengulum senyum, merasa sungkan untuk menertawakan kesalahanmu. Mesjid Raya tertua mulai menyapa pandanganku. Nuansa hijau dan putih membawa ketenangan ketika mataku memandang. Air pancur kecil di sudut pagar, membawa air menari bersama angin, lalu kembali jatuh kembali pada arus pelan.
Segar sekali, sapuan angin, air sungai yang mengarak pelan menuju ke hulu, dan pohon-pohon yang rindang berjejer menawarkan ketenangan, begitu merasuk mengisi celah hati ini dengan penuh cinta. Kaki ini mengayuh dan tetap mengayuh. Taman burung, mulai di padati para pejalan kaki yang singgah untuk melepas penat sejenak.
Masih ingatkah?
Pada kenakalan kita pada masa itu?Kenakalan yang membuatku menangis memikirkan rindu. Kau di sana, sayang. Dapatkah kau pulang sebentar saja? Temani aku malam nanti, membelah jalan dengan tarian dan nyanyian gila kita. Temani aku lagi, sayang.
Kita, yang berjalan bergenggam tangan, kala penerangan jalan tak mampu menerangi langkah kaki kita. Mengayunkan genggaman tangan bersama pendaran rembulan yang tersenyum dan bayangan yang setia mengikuti langkah kita.
Ingatkah, kala rerintik hujan menyapa bumi, kita menari, berdansa dalam cucuran hujan. Tak pelak, dingin yang menyusup perlahan, pun tak lagi mampu melawan kenangan yang kita tampung bersama.
Sayang, bulan Oktober tanpa dirimu ini, akankah sama rasanya saat kita bersama?
Aku pilu, aku malu, aku mengaku rindu.
Cepat pulang sayang, genggam kembali jemariku, mari melangkah bersama ke rumah Sang Pencipta untuk menghabiskan hari di bulan Oktober yang ke empat belas kalinya.
Cepat pulang sayang.
Ribuan tetes hujun menertawakanku kala kumenangis menahan rindu.
Cepat pulang sayang. Singkawang dan rinduku menantimu.

Dari aku, penikmat hujan dan kenangan kita.
Singkawang, 11 Oktober 2018

Comments

Popular posts from this blog

#PUISI "Lembayung Senja"

#Puisi "Sudahkah Kamu Bersyukur Hari Ini?"

#Puisi "Mencintaimu dengan Caraku"